Pancasila Belum Jadi Etos
Elite Tidak Memberi Teladan
JAKARTA,
KOMPAS--. Pancasila sebagai cara pandang berbangsa dan tuntunan bernegara belum
sepenuhnya menjadi etos bangsa Indonesia. Pancasila biasanya hanya muncul dalam
wacana publik saat ada masalah bangsa. Padahal, Pancasila harus jadi “napas”
dan basis rasionalisasi semua kebijakan.
Setelah reformasi, Pancasila bahkan
cenderung jarang dibicaraakan di ruang publik, bahkan juga di ruang parlemen
ataupun dalam proses pengambilan kebijakan publik. Selain muncul saat
dibutuhkan sebagai “resep” penyembuh berbagai persoalan banngsa, wacana
Pancasila biasanya juga hanya muncul di ruang public pada peringatan hari
kebangsaan, seperti Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni.
Dampaknya, terjadi pendangkalan
penghayatan Pancasila dalam kehidupan berbangsa. Banyak elite politik dan
pemerintah yang tidak mewacanakan ataupun menerapkan nilai Pancasila dalam tata
kelola negara. Akhirnya, masyarakat umum tak lagi punya teladan.
Penelitian yang dilakukan Badan dan
Pengkajian Majelis Permusyawarartan Rakyat (MPR), misalnya, menunjukkan, lebih
dari 50 persen undang-undang yang dikeluarkan pascareformasi tidak melibatkan
atau merujuk nilai-nilai Pancasila dalam proses pembuatannya. Padahal,
seharusnya Pancasila menjadi sumber dari segala hokum negara di Indonesia.
“Pancasila muncul di ruang publik saat
ada realitas negatif. Pancasila lebih dilihat sebagai “penambal” lubang
persoalan yang muncul, tidak sebagai pem,ikiran dan sikap atau etos dalam
kehidupan berbangsa,” kata pengajar filsafat politik Sekolah Tinggi Filsafat
Driyarkara, F Budi Hardiman, Minggu (28/5).
Menurut Budi, bangsa Indonesia di
era kini bisa belajar dari hal positif dan negatif pewacanaan Pancasila saat
era Orde Baru. Ketika itu, ada tekad untuk mewadahi Pancasila dlaam berbagai
kebijakan. Diskursus Pancasila masuk sebagai penalaran kebijakan. Orde baru
juga membuat institusi khusus yang mengarahkan Pancasila sebagai pola pikir
bangsa.
Namun, di era Orde Baru juga muncul
contoh negatif. Lantaran kebijakan pemerintah dianggap sesuai dengan Pancasila,
pihak yang tidak sependapat dengan kebijakan pemerintah dianggap
anti-Pancasila. Langkah ini kemudian diikuti dengan ancaman. Budi menilai hal
ini yang kemudian memunculkan resistensi pihak tertentu terhadap diskursus Pancasila setelah reformasi.
Dalam konteks penyusunan
perundang-undangan, Ketua Badan Pengkajian MPR Bambang Sadono mengatakan, setelah
reformasi muncul kesan penyebutan Pancasila dalam undang-undang dihindari. Padahal,
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan sebenarnya telah mencantumkan pasal bahwa Pancasila
merupakan sumber dari segala hokum negara. Namun, pijakan yuridis itu kerap
dianggap belum cukup kuat dan mengikat untuk diterapkan dalam proses perumusan
undang-undang baru.
Bambang mengibaratkan Pancasila kini
hanya dijadikan seperti jimat atau barang sakti. “Seolah, kalau kita
mengantongi Pancasila, segala hal beres. Namun, penerapannya bagaimana? Kita
terlalu malas untuk mau memperjelas dan menurunkan butir-butir Pancasila dalam
kehidupan sehari-hari dan kehidupan berbangsa bernegara.” Tuturnya.
Belakangan ada sejumlah pertemuan
yang diadakan MPR untuk membahas implementasi konkret Pancasila, khususnya
dalam pembuatan perundang-undangan. Salah satu usulan yang mengemuka, kata Bambang
dengan membuat klausul mengikat di UUD 1945 hasil amandemen nantinya bahwa
Pancasila wajib dijadikan sebagai pijakan dan rujukan dasar pembuatan
undang-undang atau peraturan lainnya.
“Jika UU Nomor 12 Tahun 2011 kuranng
kuat pijakan yuridisnya, kita pertegas lewat UUD 1945. Ada usulan, dibuat pasal
yang mengatur bab tentang dasar negara dan implementasinya. Sebab, selam ini,
sejujurnya Pancasila dianggap kurang mengikat untuk urusan membuat
undang-undang,” ujar Bambang.
Teladan
Menurut peneliti Pusat Studi Pancasila
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Diasma Sandi Swandaru, setidaknya ada dua
hal yang membuat elite egan mengangkat wacana Pancasila di ruang publik. Pertama,
karena ada tuntutan bahwa mereka yang menjadi penyelenggara negara, dalam
konteks negara Pancasila, harus mengabdi untuk kepentingan negara dan secara
otomatis punya tuntutan moral berperilaku baik. “Dengan membicarakan Pancasila
dalam pekerjaan mereka, otomatis mereka ‘terbebani’ tangggung jawab yang besar.
Mereka tidak ingin hal itu,” katanya.
Kedua, penyelenggara negara
menyepelekan pentingnya Pancasila. Mereka merasa sudah paham sehingga tidak
perlu mendalami atau membicarakan Pancasila lagi. Padahal, sejumlah kasus,
seperti penangkapan pejabat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan pejabat Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal (Kemendes) dalam dugaan korupsi, menjadi contoh pedangkalan
Pancasila dalam tata kelola negara.
Tiga persoalan
Dalam konteks Pancasila dan tata
kelola negara, bangsa Indonesia tenngah menghadapi persoalan serius di tiga
sila dalam Pancasila. Padahal, kata anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia,
Yudi Latif, tiga sila itu merupakan poin krusial, yakni sila pertama Ketuhanan
Yang Maha Esa, sila ketiga Persatuan Indonesia, dan sila kelima Keadilan Sosial
bagi Seluruh Rakyat Indonesia. “Soko guru Pancasila ada di tiga sila itu. Dalam
ketiga aspek ini kita mengalami masalah serius dalam mengimplementasikan Pancasila,”
kata Yudi.
Dalam sila pertama, katanya,
seharusnya berkembang sifat berketuhanan, yakni apa pun agama dan keyakinan
yang dianut seseorang, ia menunjukkan kasih saying, berakhlak, serta
berkebudayaan dan bisa mengajak seseorang keluar dari kesempitan dan menuju
kebaikan.
Sementara itu, pada sila ketiga, perlu
dikembangkan strategi kebudayaan untuk menagtasi persoalan segregasi social yang
semakin menguat. Pada sila kelima, ada persoalan serius terkait keadilan
ekonomi yang harus diatasi dengan kehadiran negara.
“Persoalan persatuan, keadilan itu
dampak dari salah kelola dalam jangka panjang republik. Tetapi semangatnya
jangan menyalahkan rezim apa, tetapi kekeliruan itu harus dievaluasi,” kata
Yudi.
Anggota
Dewan Pertimbanngnan Presiden Sidarto Danusubroto juga menegaskan, kini saatnya
membangkitkan kembali Pancasila. Terkait hal itu, pemerintah sedang menggodok
lembaga semacam Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan
Pengalaman Pancasila (BP7) di era Orde Baru untuk pemantapan Pancasila. Namun,
pemantapan ini tidak dilakukakn dengan doktrin yang dilakukan pemerintah Orde
Baru, tetapi lebih dialogis. (GAL/AGE/NTA/INA/MDN/IVV/MHD)
Sumber
: Koran Kompas tanggal 29 Mei 2017
No comments:
Post a Comment